Tak tahu kenapa dan mengapa, kita disajikan informasi, berita, cerita, novel, pikiran, hingga paradigma bahwa negara kita "tertatih-tatih" secara ekonomis, pendidikan, polits, sosial, dan lainnya. Cerita yang meng-headline, thema yang panas, ide-ide yang muncul, hampir semuanya menyatu menuju kondisi tersebut. Ada apa dengan negeriku?
Paragraf ini diluar konteks. Masa kecil saya sungguh menyenangkan; kompleks yang dinamis, teman yang kreatif dan penuh permainan, menikmati suasana sebagai "developing countries" dengan ceria, tawa..Yang berkecukupan dan yang tidak saling menyatu, bergaul, menjalin tali-persahabatan yang langgeng. Lalu karena sekolah atau hal lain, mencari ilmu, kita melangkah ke dunia lain, teman lain, suasan baru; tapi tetap dengan kenangan yang tak pernah terlupakan. Pada akhirnya kita menikmati ilmu, pengalaman, pemikiran, yang kita cerap, digali, diberi dengan ikhlas oleh para guru-guru dan dosen-dosen tercinta, sehingga akhirnya kita bisa berkata: "ada apa dengan Indonesia?", "negaraku lagi bangkrut".. hujatan, umpatan, makian menggema di bumi Indonesia! Sesungguhnya, dasar-dasar makian, hujatan, umpatan tersebut terbentuk dalam benak mereka karenaselagi di Indonesia. "Ibu" dari pikiran mereka adalah bernama "Indonesia". Inikah yang kita berikan pada "Indonesia kita"?
Kembali ke paragraf pertama. Kita masuk era sepuluh tahunan reformasi. Masih teringat komentar almarhum Nurcholish Madjid bahwa "Reformasi butuh puluhan tahun" untuk mendapatkan hasil yang dicita-citakan, sesuai idealitasnya. Cak Nur menekankan bahwa kita telah "memulai" sesuatu. Selanjutnya, mari kita ikuti "proses"nya.
Sayangnya, sementara proses itu berlangsung menuju ke arah Indonesiaa yang lebih besar, justru makian, hujatan, umpatan menggema lebih keras. Ada yang mengatakan, itulah konsekuensi dari demokrasi yang kita anut; yang lain mengatakan ini mekanisme check-and-balance. Idealnya memang, tidak ada keluasan kebebasan tanpa pertentangan. Ini normal. Pertanyaannya, "efektikah semacam itu?"..
Pertimbangkan potensi kita sekarang ini. Kita punya banyak ilmuwan, budayawan, rohaniawan, bahkan negawaran; baik di luar maupun di dalam negeri. Kita punya usahawan yang inovatif meregional dan menginternasional. Sistem pemerintahan kita dijadikan best-practice di negara lain (keluarga berencana misalnya, penanganan konflik, dan laiannya). Ide-ide cemerlang banyak diciptakan oleh anak negeri ini: Habibie dengan konsep "crack thoery" di aeronautika dan konsep "habibienomics" yang membalik pola pembangunan teknologi. Kita punya dua-dua potensi pembangun bangsa; keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
Merangkum dalam kerangka "proses" tersebut, maka ide, pikiran, tindakan se-efektifnya digunakan untuk mendorong proses ke "hasil". Mari kita nikmati "proses", baik dgn menghujat atau tidak-menghujat, memaki atau tidak-memaki, dalam kerangka "proses".. Kenapa, misalnya, film "Laskar Pelangi" hingga berkali-kali ditonton, dengan tangis haru, padahal "hasil akhir"nya diketahui? Kenapa kita begadang nonton piala dunia sepakbola, padahal hasilnya bisa dibaca dan didengar di pagi hari? Karena kita menikmati "proses"!
Jadi, efektif-nya, mari kita gerakkan "proses" membesarkan Indonesia kita. Memang korupsi akan tetap ada, pembangunan dan penggesaran tak senonoh masih akan muncul, pembiaran-pembiaran terhadap perilaku tak-reformis mungkin belum punah. Dalam project management, ada istilah "waktu terbuang" dan "waktu kritis". Kita fokus ke "waktu kritis", dan mengantisipasi "waktu terbuang". Dalam engineering ada prinsip "allowances", perbedaan antara ideal perhitungan dan hasil lapangan. Semua persis masuk dalam kerangka pemikiran pembangunan. Lagi-lagi pertanyaannya, "efektifkah kita"?
Last but not least, kita sekarang dalam "proses" yang "membangun" dan "menata" setelah "membongkar" dengan reformasi. Tidak efektif kalau kita buat lingkaran tertutup, loop, dari proses kembali ke pembongkaran.. Tapi dari proses dapat menjadi umpan balik untuk proses pembongkaran yang efisien. Pada akhirnya menuju "pembangunan" kembali Indonesia, yang lebih besar, disegani, dan yang warganya dengan bangga mengatakan "Aku Orang Indonesia!"..
Riad
Makassar, 3 April 2009
Categories:
innovation